Senin, 27 Desember 2010

Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset standarbunga pinjaman, "margin requirement", untuk kapitalisasi bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain.

Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil.

Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang.Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.


Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :

1. Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang edar

2. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy)


Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain :

1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation) Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.

2. Fasilitas Diskonto (Discount Rate) Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.

3. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio) Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.

4. Himbauan Moral (Moral Persuasion) Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.


Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.

Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.

Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.


Kebijakan Moneter

Kondisi ekonomi negara Indonesia pada masa orde baru sudah pernah memanas. Pada saat itu pemerintah melakukan kebijakan moneter berupa contractionary monetary policy dan vice versa. Kebijakan tersebut cukup efektif dalam menjaga stabilisasi ekonomi dan ongkos yang harus dibayar relatif murah. Kebijakan moneter yang ditempuh saat ini berupa open market operation memerlukan ongkos yang mahal. Kondisi ini diperparah dengan adanya kendala yang lebih besar, yaitu pengaruh pasar keuangan internasional.

Definisi Kebijakan Moneter
Menurut Nopirin : kebijakan moneter adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa moneter (biasanya bank sentral) untuk mempengaruhi jumlah uang beredar dan kredit yang pada gilirannya akan mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat (Nopirin, 1992:45). Bank sentral adalah lembaga yang berwenang mengambil langkah kebijakan moneter untuk mempengaruhi jumlah uang beredar.

Menurut Iswardono : kebijakan moneter merupakan salah satu bagian integral dari kebijakan ekonomi makro. Kebijakan moneter ditujukan untuk mendukung tercapainya sasaran ekonomi makro, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan, dan keseimbangan neraca pembayaran (Iswardono, 1997 : 126).
c. Dari pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan
dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil.

Instrumen Kebijakan Moneter

Alat / instrumen kebijakan moneter yang umum dijelaskan oleh Nopirin (1992 : 46) dan Mishkin (2001 : 435) sebagai berikut :
1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Instrumen ini merupakan alat kebijakan moneter yang terpenting karena
merupakan determinan utama antara perubahan tingkat suku bunga dan monetary base serta menjadi sumber utama untuk mempengaruhi fluktuasi jumlah uang beredar. Kebijakan ini meliputi tindakan menjual dan membeli surat-surat berharga oleh bank sentral. Tindakan ini memiliki 2 pengaruh utama terhadap kondisi pasar uang : pertama, menaikkan cadangan bank-bank umum yang turut dalam transaksi. Hal ini dikarenakan dalam pembelian surat berharga misalnya, bank sentral akan menambah cadangan bank umum yang menjual surat berharga tersebut, akibatnya bank umum dapat menambah jumlah uang yang beredar (melalui proses penciptaan kredit). Pada saat bank sentral menjual surat-surat berharga di pasar terbuka, cadangan bank-bank umum akan menurun. Berikutnya bank-bank ini dipaksa untuk mengurangi penyaluran kreditnya, dengan demikian akan mengurangi jumlah uang beredar. Pengaruh yang kedua, tindakan pembelian atau penjualan surat berharga akan mempengaruhi harga (dan dengan demikian juga tingkat bunga) surat berharga, sehingga mengakibatkan menurunnya jumlah uang beredar dan meningkatkan tingkat suku bunga.

Berdasarkan tujuannya, operasi pasar terbuka dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :
• Dynamic open market operation, yang bertujuan untuk mengubah jumlah cadangan dan monetary base.
• Defensif open market operation, yang bertujuan untuk mengontrol faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi jumlah cadangan dan
monetary base.

2. Penetapan Tingkat Diskonto (Discount Policy)
Kebijakan ini meliputi tindakan untuk mengubah tingkat bunga yang harus dibayar oleh bank umum dalam hal meminjam dana dari bank sentral. Kebijakan ini pada dasarnya bertujuan untuk mempengaruhi tingkat diskonto yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap jumlah uang beredar melalui perubahan tingkat bunga pinjaman. Dengan menaikkan diskonto, maka biaya untuk meminjam dana dari bank sentral akan naik sehingga akan mengurangi keinginan bank umum untuk melakukan peminjaman ke bank sentral.
Akibatnya, jumlah uang yang beredar dapat ditekan / dikurangi. Di samping itu, posisi jumlah cadangan juga dapat dipengaruhi melalui instrumen ini. Apabila tingkat diskonto mengalami kenaikan, maka akan meningkatkan biaya pinjaman pada bank. Peningkatan jumlah cadangan ini merupakan indikasi bahwa bank sentral menerapkan kebijakan moneter yang ketat.

3. Penetapan Cadangan Wajib Minimum (Reserves Requirements)
Kebijakan perubahan cadangan minimum dapat mempengaruhi jumlah uang yang beredar. Apabila cadangan wajib minimum diturunkan, maka akan mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah deposito sehingga jumlah uang beredar cenderung meningkat, dan sebaliknya apabila cadangan wajib minimum dinaikkan, maka akan mengurangi jumlah deposito yang akhirnya akan menurunkan jumlah uang yang beredar.
Indikator empirik untuk kebijakan moneter yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Jumlah uang beredar (M2), yaitu jumlah seluruh uang yang beredar yang terdiri dari M1(uang kartal dan uang giral) ditambah dengan uang kuasi.
b. Bunga deposito 1 bulan (Depo1)
c. Tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
d. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
e. Inflasi

Kerangka Kebijakan Moneter di Indonesia

Dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut sebuah kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF). Kerangka kerja ini diterapkan secara formal sejak Juli 2005, setelah sebelumnya menggunakan kebijakan moneter yang menerapkan uang primer (base money) sebagai sasaran kebijakan moneter.

Dengan kerangka ini, Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan sasaran inflasi kepada publik dan kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut. Untuk mencapai sasaran inflasi, kebijakan moneter dilakukan secara forward looking, artinya perubahan stance kebijakan moneter dilakukan melaui evaluasi apakah perkembangan inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran inflasi yang telah dicanangkan. Dalam kerangka kerja ini, kebijakan moneter juga ditandai oleh transparansi dan akuntabilitas kebijakan kepada publik. Secara operasional, stance kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga kebijakan (BI Rate) yang diharapkan akan memengaruhi suku bunga pasar uang dan suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Perubahan suku bunga ini pada akhirnya akan memengaruhi output dan inflasi.

Dengan telah dilepaskannya sistem nilai tukar dengan band intervensi nilai tukar (crawling band) di tahun 1997, Bank Indonesia memerlukan jangkar nominal (nominal anchor) baru dalam rangka menjalankan kebijakan moneter. Jangkar nominal adalah variabel nominal (seperti indeks harga, nilai tukar, atau uang beredar) yang ditargetkan secara eksplisit oleh bank sentral sebagai dasar/patokan bagi pembentukan harga lainnya. Misalnya kalau nilai tukar dijadikan target, maka inflasi luar negeri akan menjadi inflasi domestik.

Mengapa kebijakan moneter memerlukan jangkar nominal? Karena tanpa adanya jangkar nominal, tidak ada kejelasan kemana kebijakan moneter akan diarahkan sehingga masyarakat tidak memiliki pedoman dalam membuat ekspektasi inflasi. Ibarat kapal yang mengapung di lautan tanpa kejelasan kearah mana kapal dilabuhkan. Sebaliknya, dengan adanya jangkar nominal masyarakat akan membuat ekspektasi inflasi yang diperlukan dalam kalkulasi usahanya sesuai dengan jangkar nominal tersebut. Dengan mengumumkan sasaran inflasi dan Bank Indonesia secara konsisten dapat mencapainya akan meningkatkan kredibilitas kebijaan moneter yang pada gilirannya ekspektasi inflasi masyarakat sesuai dengan sasaran yang ditetapkan BI.

Ada sejumlah alasan mengapa menggunakan jangkar nominal dengan ITF.

  • ITF lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Dengan sasaran inflasi secara eksplisit masyarakat akan memahami arah inflasi. Sebaliknya dengan sasaran base money, apalagi jika hubungannya dengan inflasi tidak jelas, masyarakat lebih sulit mengetahui arah inflasi kedepan.
  • ITF yang memfokuskan pada inflasi sebagai prioritas kebijakan moneter sesuai dengan mandat yang diberikan kepada Bank Indonesia.
  • ITF bersifat forward looking sesuai dengan dampak kebijakan pada inflasi yang memerlukan time lag.
  • ITF meningkatkan trasparansi dan akuntabilitas kebijakan moneter mendorong kredibilitas kebijakan moneter. Aspek transparansi dan akuntabilitas serta kejelasan akan tujuan ini merupakan aspek-aspek good governance dari sebuah bank yang telah diberikan independensi.
  • ITF tidak memerlukan asumsi kestabilan hubungan antara uang beredar, output dan inflasi. Sebaliknya, ITF merupakan pendekatan yang lebih komprehensif dengan mempertimbangkan sejumlah variabel informasi tentang kondisi perekonomian.

Dalam kerangka ITF, Bank Indonesia mengumumkan sasaran inflasi ke depan pada periode tertentu. Setiap periode Bank Indonesia mengevaluasi apakah proyeksi inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran yang ditetapkan. Proyeksi ini dilakukan dengan sejumlah model dan sejumlah informasi yang dapat menggambarkan kondisi inflasi ke depan. Jika proyeksi inflasi sudah tidak kompatibel dengan sasaran, Bank Indonesia melakukan respon dengan menggunakan instrumen yang dimiliki. Misalnya jika proyeksi inflasi telah melampaui sasaran, maka Bank Indonesia akan cenderung melakukan pengetatan moneter.

Secara reguler, Bank Indonesia menjelaskan kepada publik mengenai asesmen terhadap kondisi inflasi dan outlook ke depan serta keputusan yang diambil. Jika sasaran inflasi tidak tercapai maka diperlukan penjelasan kepada publik dan langkah-langkah yang akan diambil untuk mengembalikan inflasi sesuai dengan sasarannya.

Bekerjanya Kebijakan Moneter


Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan itu Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi. Namun jalur atau transmisi dari keputusan BI rate sampai dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut sangat kompleks dan memerlukan waktu (time lag).

Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi tersebut sering disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme ini menggambarkan tindakan Bank Indonesia melalui perubahan-perubahan instrumen moneter dan target operasionalnya mempengaruhi berbagai variable ekonomi dan keuangan sebelum akhirnya berpengaruh ke tujuan akhir inflasi. Mekanisme tersebut terjadi melalui interaksi antara Bank Sentral, perbankan dan sektor keuangan, serta sektor riil. Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi.

Pada jalur suku bunga, perubahan BI Rate mempengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Apabila perekonomian sedang mengalami kelesuan, Bank Indonesia dapat menggunakan kebijakan moneter yang ekspansif melalui penurunan suku bunga untuk mendorong aktifitas ekonomi. Penurunan suku bunga BI Rate menurunkan suku bunga kredit sehingga permintaan akan kredit dari perusahaan dan rumah tangga akan meningkat. Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan investasi. Ini semua akan meningkatkan aktifitas konsumsi dan investasi sehingga aktifitas perekonomian semakin bergairah. Sebaliknya, apabila tekanan inflasi mengalami kenaikan, Bank Indonesia merespon dengan menaikkan suku bunga BI Rate untuk mengerem aktifitas perekonomian yang terlalu cepat sehingga mengurangi tekanan inflasi.

Perubahan suku bunga BI Rate juga dapat mempengaruhi nilai tukar. Mekanisme ini sering disebut jalur nilai tukar. Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam instrument-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal masuk asing ini pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor. Turunnya net ekspor ini akan berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian.

Perubahan suku bunga BI Rate mempengaruhi perekonomian makro melalui perubahan harga aset. Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset seperti saham dan obligasi sehingga mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya mengurangi kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi.

Dampak perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi ekspektasi publik akan inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku bunga yang diperkirakan akan mendorong aktifitas ekonomi dan pada akhirnya inflasi mendorong pekerja untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta upah yang lebih tinggi. Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada konsumen melalui kenaikan harga.

Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini bekerja memerlukan waktu (time lag). Time lag masing-masing jalur bisa berbeda dengan yang lain. Jalur nilai tukar biasanya bekerja lebih cepat karena dampak perubahan suku bunga kepada nilai tukar bekerja sangat cepat. Kondisi sektor keuangan dan perbankan juga sangat berpengaruh pada kecepatan tarnsmisi kebijakan moneter. Apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi, respon perbankan terhadap penurunan suku bunga BI rate biasanya sangat lambat. Juga, apabila perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan meningkatnya permintaan kredit belum tentu direspon dengan menaikkan penyaluran kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga belum tentu direspon oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian sedang lesu. Kesimpulannya, kondisi sektor keuangan, perbankan, dan kondisi sektor riil sangat berperan dalam menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter.

Kebijakan Moneter adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa moeneter (Bank Indonesia) untuk mempengaruhi jumlah yang beredar dan kredit yang pada akhirnya akan mempegaruhi kegiatan ekonomi masyarakat.
Kebijakan moneter bertujuan untuk mencapai stablisasi ekonomi yang dapat diukurdengan
a. Kesempatan Kerja
Semakin besar gairah untuk berusaha, maka akan mengakibatkan peningkatan produksi. Peningkatan produksi ini akan diikuti dengan kebutuhan tenaga kerja. Hal ini berarti akan terjadinya peningkatan kesempatan kerja dan kesehjateraan karyawan.
b. Kestabilan harga
Apabila kestablian harga tercapai maka akan menimbulkan kepercyaan di masyarakat. Masyarakat percaya bahwa barang yang mereka beli sekarang akan sama dengan harga yang akan masa depan.
c. Neraca Pembayaran Internasional
Neraca pembayaran internasional yang seimbang menunjukkan stabilisasi ekonomi di suatu Negara. Agar neraca pembayaran internasional seimbang, maka pemerintah sering melakukan kebijakan-kebijakan moneter.

STATEMENT KEBIJAKAN MONETER

Pemulihan perekonomian global masih menunjukkan perkembangan yang positif. Selain ditopang oleh ekspansi perekonomian negara emerging market, seperti China, pemulihan ekonomi global juga ditopang oleh menguatnya permintaan domestik di negara maju, seperti AS dan Jepang, walaupun dengan laju yang lebih moderat. Sementara itu, pemulihan di Eropa berjalan sedikit lebih lambat akibat konsumsi yang masih melemah sejalan dengan tingginya tingkat penggangguran, membengkaknya defisit fiskal di sejumlah negara di kawasan Eropa. Dengan perkembangan ekonomi global tersebut, pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2009 dan 2010 diperkirakan lebih optimis dari perkiraan sebelumnya.

Di pasar keuangan global, perbaikan ekonomi global yang terus berlanjut mendorong kinerja pasar keuangan global. Indeks saham di berbagai bursa menunjukkan tren yang meningkat, meski sempat terkoreksi akibat sentimen negatif yang dipicu oleh sinyal pengetatan kebijakan moneter di China. Optimisme di pasar keuangan global tersebut juga disertai oleh membaiknya persepsi risiko di emerging market. Hal ini mendorong derasnya aliran modal ke emerging market, yang mendukung penguatan di pasar keuangan dan apresiasi mata uang di sejumlah negara. Inflasi global diperkirakan relatif masih rendah sehingga mendorong otoritas moneter di sebagian besar negara maju untuk melanjutkan kebijakan moneter yang akomodatif sehingga arus modal masuk ke negara emerging, termasuk Indonesia diperkirakan masih akan berlanjut.

Berlanjutnya perbaikan pada perekonomian global berdampak positif pada perekonomian domestik. Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekspor menunjukkan kinerja yang kian membaik sejalan dengan peningkatan permintaan global. Demikian juga konsumsi rumah tangga, akan tetap tumbuh relatif tinggi, didukung oleh daya beli masyarakat yang membaik dan keyakinan konsumen yang menguat. Penerapan Asean China-Free Trade Agreement (AC-FTA) berpotensi membawa dampak positif bagi perekonomian domestik baik dari jalur ekspor maupun impor. Melalui jalur ekspor, tingginya daya saing Indonesia dalam komoditas sumber daya alam akan semakin mendorong kenaikan ekspor terutama ke China. Dari jalur impor, AC-FTA akan mendorong ketersediaan bahan baku dan barang modal yang lebih murah sehingga dapat memperbaiki efisiensi produksi. Kegiatan investasi juga akan meningkat meskipun belum terlalu signifikan. Kegiatan investasi terutama terjadi pada sektor bangunan, yaitu sektor infrastruktur. Sektor-sektor lain yang akan menunjukkan ekspansi ekonomi antara lain sektor manufaktur dan sektor perdagangan, terutama terkait dengan meningkatnya konsumsi masyarakat dan permintaan komoditas ekspor, serta sektor pengangkutan dan komunikasi seiring dengan aktivitas ekonomi yang meningkat.

Dari sisi harga, tekanan inflasi menunjukkan sedikit peningkatan di bulan Januari 2010, namun perkembangan ini diyakini masih sesuai dengan kisaran sasaran Bank Indonesia 2010 sebesar 5±1%. Inflasi bulan Januari 2010 tercatat 0,84% (mtm), atau 3,72 (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar 0,33% (mtm) atau 2,78% (yoy). Meningkatnya tekanan inflasi terutama bersumber dari faktor non-fundamental, yaitu kelompok volatile food akibat kendala di sisi pasokan komoditas pangan strategis, khususnya beras. Kenaikan harga beras ini selain dipicu oleh penurunan produksi pada masa paceklik, juga didorong oleh kenaikan HPP beras 10% dan ekspektasi petani terhadap kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi pada bulan April 2010. Sementara itu, tekanan dari faktor fundamental, yang tercermin pada inflasi inti, tidak menunjukkan peningkatan yang berarti. Dari sisi domestik, sisi penawaran masih mampu merespons kenaikan sisi permintaan sehingga berhasil menahan tekanan harga. Sementara itu dari faktor eksternal, tekanan inflasi impor relatif meningkat pada komoditas tertentu, terutama gula, sejalan dengan terus meningkatnya harga gula internasional. Namun demikian tren apresiasi rupiah yang masih berlanjut dapat meredam inflasi dari faktor eksternal.

Membaiknya kinerja ekspor dan aliran modal asing yang terus berlangsung menjaga kinerja neraca pembayaran Indonesia (NPI) tetap solid. Perkembangan ekonomi global yang kondusif, terutama kondisi perekonomian mitra dagang, mendukung perbaikan kinerja ekspor. Kenaikan ekspor tersebut diprakirakan dapat mengimbangi kenaikan impor yang terjadi sejalan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi. Selain itu, perkembangan harga di pasar internasional menumbuhkan optimisme akan dukungan terhadap kinerja ekspor selama triwulan I-2010. Kondisi tersebut cukup kondusif dalam mendukung surplus transaksi berjalan. Kinerja NPI juga ditopang oleh surplus neraca transaksi modal dan finansial (TMF). Terjaganya kondisi makroekonomi, imbal hasil rupiah yang relatif tinggi, serta kenaikan Fitch rating untuk Indonesia semakin meningkatkan daya tarik aset berdenominasi rupiah dan memicu maraknya investasi asing di aset domestik. Penerbitan medium term notes oleh pemerintah di pasar global senilai 2 miliar dolar AS turut mendukung surplus neraca TMF. Dengan berbagai perkembangan tersebut, cadangan devisa pada akhir Januari 2010 mencapai 69,6 miliar dolar AS, cukup untuk membiayai 5,9 bulan impor dan utang luar negeri pemerintah. Solidnya kinerja neraca pembayaran Indonesia mendorong penguatan nilai tukar rupiah. Nilai tukar rupiah secara rata-rata menguat 1,90% ke level Rp9.275 per dolar AS. Pada akhir periode rupiah ditutup di level Rp9.350 per dolar AS atau menguat 0,8% (p-t-p) dari akhir Desember 2009.

Di sektor keuangan domestik, kinerja pasar keuangan terus meningkat sejalan dengan stabilitas ekonomi domestik dan sentimen global yang semakin membaik. Di pasar uang, kondisi likuiditas perbankan meningkat tercermin dari suku bunga PUAB O/N yang terjaga di sekitar BI Rate, serta risiko PUAB yang menurun. Di pasar saham, IHSG menguat 3,02% (mtm). Peningkatan kinerja saham ini sejalan dengan membaiknya likuiditas di pasar saham. Pergerakan harga saham sempat diwarnai oleh sentimen negatif dinamika global seperti pengetatan moneter di China, ekspektasi rencana pembatasan bidang usaha perbankan dan rencana Pemerintah AS untuk mulai keluar dari strategi kebijakan quantitative easing, serta sustainabilitas fiskal Yunani. Di pasar obligasi, perbaikan rating utang luar negeri Indonesia dari BB ke BB+ mendorong penurunan yield SUN hampir di semua tenor. Secara rata-rata, yield SUN turun sebesar 11 bps (mtm).

Transmisi kebijakan moneter di sektor keuangan juga terus berlanjut. Hal ini tercermin dari masih menurunnya suku bunga deposito dan kredit walaupun BI rate tidak mengalami perubahan sejak September 2009. Kredit yang disalurkan di akhir tahun 2009 meningkat dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Secara bulanan, pertambahan kredit (termasuk channeling) pada Desember 2009 mencapai Rp39,9 triliun, atau tumbuh 2,8%. Ke depan, transmisi kebijakan moneter ini diperkirakan terus membaik sejalan dengan membaiknya persepsi pelaku ekonomi di sektor riil dan perbankan terhadap perekonomian dan komitmen perbankan untuk menurunkan suku bunga.
Di sisi mikro perbankan, kondisi perbankan nasional tetap stabil. Hal itu tercermin dari masih terjaganya rasio kecukupan modal (CAR) per Desember sebesar 17,4%. Sementara itu, rasio gross non-performing loan (NPL) tetap terkendali pada 3,8%, dengan rasio neto sebesar 0,9%. Selain itu likuiditas perbankan, termasuk likuiditas di pasar uang antar bank kian membaik dan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) terus meningkat.

Dengan mempertimbangkan bahwa tingkat BI Rate 6,5% masih konsisten dengan sasaran inflasi tahun 2010 sebesar 5% ±1% dan arah kebijakan moneter saat ini juga dipandang masih kondusif bagi proses pemulihan perekonomian dan berlangsungnya intermediasi perbankan, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 4 Februari 2010 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 6,5% dengan koridor suku bunga yang juga tetap sebesar +/-50 bps dari BI Rate, yakni 7% Repo dan 6% FASBI.


Perekonomian Indonesia di tahun 2010 menunjukkan akselerasi pertumbuhan yang cukup tinggi di tengah ketidakseimbangan pemulihan ekonomi global. Perekonomian domestik diprakirakan akan dapat tumbuh 6.1% pada triwulan IV-2010 sehingga untuk keseluruhan tahun 2010 perekonomian nasional dapat tumbuh sekitar 6%. Untuk tahun 2011 dan 2012, Bank Indonesia optimis bahwa pemulihan ekonomi domestik akan semakin kuat ditopang oleh peningkatan permintaan domestik dengan kinerja investasi yang semakin baik. Perekonomian Indonesia di tahun 2011 diprakirakan akan tumbuh mencapai kisaran 6,0-6,5% dan pada tahun 2012 menjadi 6,1-6,6%.

Bank Indonesia mencatat bahwa proses pemulihan ekonomi global sepanjang tahun 2010 terus berlanjut meskipun cenderung melambat memasuki paruh kedua 2010 dan dengan kecepatan yang tidak merata di berbagai kawasan. Pemulihan ekonomi negara-negara emerging markets lebih kuat dibandingkan negara maju, didukung oleh konsumsi domestik yang solid dan kinerja eksternal yang terus membaik. Sementara itu, perekonomian negara maju yang membaik pada paruh pertama 2010, tumbuh melambat di paruh kedua tahun ini seiring memudarnya efek stimulus fiskal yang diluncurkan tahun 2009. Selain itu, pertumbuhan ekonomi negara maju juga dihadapkan pada krisis fiskal pada sejumlah negara Eropa dan tingginya angka pengangguran AS. Ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi ini berdampak pada perbedaan respons kebijakan moneter yang ditempuh. Bank sentral negara maju terus melanjutkan kebijakan akomodatif yang berdampak pada meningkatnya likuiditas global. Sementara itu, bank sentral negara emerging markets melakukan normalisasi kebijakan untuk menahan tekanan inflasi yang meningkat seiring akselerasi pemulihan ekonominya. Kondisi ini berdampak pada penguatan nilai tukar sejumlah negara emerging markets, termasuk Indonesia, yang kemudian direspons dengan menggunakan berbagai kombinasi instrumen kebijakan.

Kinerja pasar keuangan global mengalami rebound setelah keputusan negara-negara maju untuk mempertahankan kebijakan moneter yang akomodatif. Krisis fiskal yang melanda negara-negara Eropa (PIIGS-Portugal, Ireland, Italy, Greek, Spain) telah menurunkan risk appetite investor global. Hal ini mendorong investor untuk mengalihkan aset yang dinilai berisiko termasuk aset negara-negara emerging markets sehingga menimbulkan tekanan pada pasar keuangan global. Namun demikian, tekanan di pasar keuangan mulai mereda dan berangsur-angsur pulih pada paruh kedua 2010. Sinyal kebijakan moneter negara maju yang mempertahankan suku bunga rendah dan disertai paket stimulus moneter telah mendorong rally pada bursa saham global termasuk di emerging markets.

Dinamika yang terjadi pada perekonomian global sepanjang tahun 2010 telah memberikan pengaruh pada perkembangan ekonomi Indonesia. Pemulihan ekonomi global yang terus berlanjut khususnya di negara-negara emerging markets dan terjaganya stabilitas perekonomian telah memberikan dampak positif bagi akselerasi pertumbuhan ekonomi domestik. Kebijakan ekonomi makro yang dilakukan telah memberikan kontribusi bagi terpeliharanya keseimbangan internal dan eksternal dalam perekonomian Indonesia. Hal tersebut menjadi faktor penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi domestik tahun ini ditopang oleh sumber pertumbuhan yang semakin seimbang tercermin pada kuatnya konsumsi dan tingginya permintaan ekspor serta investasi yang membaik. Konsumsi yang meningkat terutama berasal dari konsumsi rumah tangga sementara konsumsi pemerintah masih relatif terbatas seiring penyerapan anggaran yang masih terbatas. Di sisi ekspor, terjadi peningkatan kinerja pada tahun 2010 didukung oleh meningkatnya permintaan eksternal seiring pemulihan ekonomi global khususnya di kawasan Asia. Membaiknya kinerja ekspor juga di dorong oleh peningkatan harga komoditas global. Sementara itu, kinerja investasi juga terus menunjukkan perbaikan didukung oleh membaiknya persepsi pasar, meningkatnya pembiayaan, relatif rendahnya harga barang impor, dan penerapan berbagai kebijakan pemerintah yang mendukung investasi.

Dari sisi penawaran, sektor nontradable dan sektor tradable menunjukkan kinerja yang membaik di tahun 2010. Pertumbuhan sektor tradable terutama berasal dari pulihnya sektor industri pengolahan yang mencapai tingkat pertumbuhan sebelum krisis keuangan global yakni sekitar 4%. Namun, membaiknya kinerja sektor industri ini tidak diikuti oleh kinerja sektor tradable lainnya. Sektor pertanian tumbuh melambat dipengaruhi produktivitas serta luas lahan yang menurun dengan adanya anomali cuaca. Sementara, sektor pertambangan juga mengalami gangguan yang terkait faktor cuaca. Di sisi nontradable, pertumbuhan terutama berasal dari sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Sementara sektor nontradable lainnya cenderung melambat.

Di sisi harga, tahun 2010 diwarnai oleh tekanan inflasi yang cenderung meningkat, yang terutama bersumber dari kelompok volatile foods. Tingginya tekanan inflasi dari kelompok bahan makanan (volatile food) disebabkan anomali cuaca yang mengakibatkan gangguan distribusi dan produksi. Tekanan inflasi yang bersumber dari kelompok administered prices juga meningkat meskipun terbatas. Kenaikan TDL di bulan Juli tidak mendorong kenaikan harga komoditas secara signifikan. Tekanan inflasi inti mengalami peningkatan meskipun masih terkendali seiring nilai tukar rupiah yang menguat. Peningkatan inflasi ini berasal dari tren peningkatan harga komoditas pasar global. Sementara itu, ekspektasi inflasi juga sempat meningkat dipengaruhi oleh kenaikan pada harga bahan makanan. Dengan perkembangan tersebut, sampai dengan November 2010 inflasi IHK tercatat sebesar 6,33(yoy) atau mencapai 5,98% (ytd), sementara inflasi inti mencapai 4,31%(yoy) atau 3,89%(ytd).

Pemulihan ekonomi Indonesia yang terus membaik selama tahun 2010 tersebut juga terkonfirmasi oleh hasil asesmen perekonomian daerah yang dilakukan Bank Indonesia. Secara umum, perekonomian daerah selama tahun 2010 masih terus terakselerasi ditopang oleh kuatnya konsumsi, ekspor dan investasi. Wilayah Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Papua diprakirakan mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari membaiknya kinerja perkebunan yang dipengaruhi oleh harga yang membaik. Sementara kinerja sektor pertambangan yang banyak beroperasi di wilayah tersebut diprakirakan masih terbatas akibat anomali cuaca dan gangguan teknis produksi. Di wilayah Jakarta, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Kalimantan diprakirakan masih mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi didukung oleh kinerja industri pengolahan dan sektor bangunan. Kegiatan investasi bangunan yang tumbuh cukup tinggi terjadi di Jakarta dan di wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.

Di sisi Neraca Pembayaran, pertumbuhan ekspor yang tetap kuat serta aliran modal masuk, baik dalam bentuk PMA maupun portfolio yang masih kuat membawa dampak pada peningkatan surplus Neraca Pembayaran Indonesia. Pemulihan ekonomi global yang terus berlangsung terutama di negara-negara emerging markets telah mendorong kuatnya pertumbuhan ekspor. Peningkatan harga komoditas global juga turut mendorong perbaikan ekpor Indonesia dengan pangsa komoditas berbasis sumber daya alam (SDA) yang semakin besar. Di sisi lain, peningkatan ekonomi domestik dan apresiasi nilai tukar telah mendorong peningkatan impor yang lebih besar. Sementara itu, pemulihan ekonomi global yang tidak seimbang telah mendorong peningkatan yang besar pada aliran masuk modal asing. Secara keseluruhan, Neraca Pembayaran Indonesia pada tahun 2010 mencatat surplus yang meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Sejalan dengan perkembangan NPI tersebut, cadangan devisa Indonesia sampai dengan akhir November 2010 tercatat sebesar USD 92,759 miliar atau setara dengan 6,96 bulan impor dan pembayaran ULN pemerintah.

Nilai tukar rupiah menguat secara signifikan di tahun 2010. Penguatan rupiah didukung oleh faktor fundamental yang solid tercermin pada kinerja neraca transaksi berjalan yang mencatat surplus signifikan. Di samping itu, penguatan rupiah tersebut juga derasnya arus modal masuk asing terkait dengan melimpahnya likuiditas global, kuatnya ekspektasi berlanjutnya kebijakan suku bunga rendah di negara-negara maju dan peluncuran Quantitave Easing tahap II oleh the Fed. Derasnya aliran masuk modal asing juga didorong oleh terjaganya persepsi risiko dan sentimen positif sejalan dengan stabilitas makro dan sistem keuangan yang terkendali, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan sustainabilitas fiskal yang terjaga. Dengan kondisi tersebut, sepanjang tahun 2010 nilai tukar rupiah telah terapresiasi secara rata-rata sebesar 3,7% (ytd) atau menguat 4,3% (p-t-p) dibandingkan tahun 2009. Penguatan tersebut diikuti juga oleh tingkat volatilitas tahunan yang turun menjadi 0,4% dari sebelumnya 0,9%.

Pasar keuangan domestik menunjukkan perkembangan yang terus membaik di tahun 2010 seiring dengan perkembangan perekonomian yang terus terakselerasi. Transmisi kebijakan moneter juga membaik sebagaimana tercermin pada respons suku bunga pasar uang dan perbankan yang terus menurun, serta ekspansi kredit yang meningkat. Di pasar obligasi, transmisi kebijakan moneter tercermin pada penurunan yield SUN untuk seluruh tenornya. Di pasar saham, indeks harga menunjukkan lonjakan yang membawa IHSGke level tertinggi sebesar 3.756,9.

Ke depan, perkembangan ekonomi domestik diperkirakan akan terus membaik. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2011 diperkirakan terakselerasi dan dapat mencapai kisaran 6,0%-6,5%. Sementara, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2012 diperkirakan mencapai kisaran 6,1%-6,6%. Pertumbuhan tersebut didukung oleh konsumsi rumah tangga yang tetap kuat, investasi yang membaik, serta masih solidnya kinerja ekspor seiring dengan masih kuatnya pertumbuhan di negara mitra dagang, terutama di kawasan Asia. Di sisi harga, Bank Indonesia memprakirakan inflasi di 2011 dapat diarahkan pada kisaran sasarannya, yaitu 5%±1% pada tahun 2011 dan 4,5%±1% pada tahun 2012. Meskipun demikian, perlu tetap diwaspadai beberapa faktor risiko terhadap pencapaian sasaran inflasi tersebut maupun prospek makroekonomi ke depan, seperti masih tingginya ketidakpastian pemulihan ekonomi global, kenaikan harga komoditas internasional, dan derasnya aliran modal asing masuk yang memicu currency war. Dari sisi domestic, risiko tersebut antara lain terkait dengan meningkatnya ekses likuiditas di sektor keuangan dan kemungkinan gangguan produksi serta distribusi bahan kebutuhan pokok. Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia akan menekankan penerapan bauran kebijakan moneter dan makroprudensialserta memperkuat koordinasi dengan Pemerintah. Beberapa langkah yang sedang dipersiapkan Bank Indonesia untuk mitigasi dampak negatif dari arus masuk modal asing dan sekaligus memperkuat ketahanan sistem perbankan antara lain terkait dengan pengaturan GWM valas dan vostro account (rekening giro Rupiah yang dimiliki oleh non-residen di bank domestik).

Berdasarkan asesmen dan prospek ekonomi tersebut, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 3 Desember 2010 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 6,5% dengan koridor suku bunga sebesar ±100 bps. Keputusan tersebut juga mempertimbangkan bahwa tingkat BI Rate 6,5% masih konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi jangka menengah dan dipandang masih kondusif untuk menjaga stabilitas keuangan dan mendorong intermediasi perbankan. Evaluasi terhadap kinerja dan prospek perekonomian secara umum mengarah pada kondisi yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi di tahun 2011 dan tahun 2012 diperkirakan akan meningkat dengan sumber pertumbuhan yang semakin berimbang.

Pemulihan ekonomi global masih berlangsung meskipun diliputi ketidakpastian. Pemulihan ekonomi global berlangsung tidak seimbang dengan negara-negara maju mengalami pertumbuhan yang melambat, sementara negara-negara emerging markets mengalami pertumbuhan moderat. Perlambatan di negara maju juga diliputi oleh ketidakpastian yang cukup tinggi seiring dengan melemahnya kinerja sektor industri dan rendahnya konsumsi yang masih terbebani tingginya angka pengangguran. Selain itu, penguatan Yen dan Euro terhadap dolar AS juga berdampak pada kinerja ekspor Jepang dan Eropa. Melambatnya pertumbuhan di negara maju ini berimbas kepada pertumbuhan ekonomi negara berkembang khususnya export dependent countries. Untuk mengatasi hal tersebut, kebijakan moneter di negara maju masih cenderung mempertahankan kebijakan akomodatif, sementara emerging markets melanjutkan normalisasi kebijakan. Di pasar keuangan global, ditandai kenaikan indeks di pasar saham yang antara lain didorong oleh sinyal stimulus moneter tahap kedua dari negara-negara maju. Kondisi ini menjadi salah satu faktor yang mendorong (push factors) masih derasnya aliran masuk modal asing ke emerging economies, termasuk Indonesia. Selain itu, faktor kuatnya fundamental ekonomi dan tingginya imbal hasil serta membaiknya persepsi risiko di emerging economies juga menjadi daya tarik (pull factors).

Kinerja ekonomi domestik menunjukkan akselerasi pertumbuhan ekonomi yang masih terus berlanjut didorong oleh konsumsi dan perbaikan investasi. Evaluasi terhadap kinerja dan prospek perekonomian secara umum menunjukkan perbaikan. Kuatnya konsumsi dalam negeri didukung oleh berbagai faktor antara lain daya beli yang membaik, dukungan pembiayaan yang meningkat, serta kepercayaan konsumen dan dunia usaha yang membaik. Sementara itu, perbaikan investasi terus berlanjut sejalan dengan implementasi berbagai kebijakan yang mendukung kegiatan investasi, perbaikan persepsi pasar terhadap perekonomian, dan peningkatan pembiayaan serta penurunan harga impor barang modal. Sementara itu, ekspor tetap tumbuh tinggi meskipun sedikit melambat dibandingkan periode sebelumnya didukung oleh masih kuatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara yang menjadi mitra dagang dan besarnya kontribusi komoditas sumber daya alam. Selain itu, harga komoditas yang cenderung meningkat juga turut mendukung peningkatan ekspor.

Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) diperkirakan masih mencatat surplus. Hal itu terutama didukung oleh kinerja transaksi modal dan finansial (TMF) terkait dengan masih derasnya aliran modal masuk berbagai instrumen keuangan seperti SUN dan SBI. Sementara dari sisi transaksi berjalan, ekspor masih tetap tinggi meskipun lebih rendah dari bulan sebelumnya dan diikuti impor yang menunjukkan pertumbuhan yang relatif tinggi. Peningkatan impor tersebut merupakan respons dari meningkatnya kegiatan ekonomi domestik dan masih tingginya ekspor. Dengan berbagai perkembangan tersebut, cadangan devisa pada akhir Oktober 2010 mencapai 91,8 miliar dolar AS atau setara dengan 6,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.

Selama Oktober 2010, nilai tukar rupiah bergerak dengan kecenderungan menguat ditopang sentimen positif global terhadap perekonomian Indonesia dan fundamental domestik yang terjaga. Pada periode laporan, rata-rata nilai tukar rupiah tercatat sebesar Rp8.929 per dolar AS, atau menguat 0,6% (mtm). Pada akhir Oktober 2010, rupiah ditutup pada level Rp8.938 per dolar AS atau melemah 0,15% (point to point) dibandingkan dengan akhir September 2010. Penguatan nilai tukar rupiah tersebut dibarengi volatilitas yang menurun. Selama Oktober 2010 volatilitas pergerakan rupiah rata-rata mencapai 0,1%, lebih rendah dari bulan sebelumnya yang sebesar 0,2%.

Perkembangan inflasi IHK pada Oktober 2010 diwarnai oleh melemahnya tekanan dari sisi volatile food dan administered prices, sementara tekanan dari kelompok inti mengalami peningkatan. Volatile food mengalami deflasi pada Oktober 2010 antara lain disebabkan terkoreksinya harga komoditas bahan pangan dan berbagai tarif angkutan pasca Hari Raya Idul Fitri. Kelompok administered prices memberikan sumbangan inflasi yang minimal sejalan dengan minimnya penyesuaian harga yang dilakukan oleh pemerintah. Sementara itu, tekanan inflasi dari kelompok inti terutama berasal dari peningkatan harga komoditas internasional, khususnya harga emas dan gula. Dengan berbagai perkembangan tersebut, inflasi IHK pada Oktober 2010 tercatat sebesar 0,06% (mtm) atau 5,67% (yoy). Bank Indonesia memandang masih terdapat potensi risiko peningkatan tekanan inflasi ke depan yang antara lain bersumber dari kecenderungan berlanjutnya peningkatan harga komoditas di pasar internasional, berlanjutnya anomali cuaca yang berpotensi mengganggu produksi dan distribusi komoditas pokok, serta peningkatan permintaan di akhir tahun.

Kinerja pasar keuangan domestik terus membaik, tercermin dari peningkatan IHSG yang mencapai level tertinggi sepanjang sejarah dan yield SUN yang menurun untuk semua tenor. Kinerja pasar keuangan yang membaik terutama dipengaruhi oleh besarnya arus masuk modal asing. Dari sisi transmisi kebijakan moneter, suku bunga perbankan masih terus mengalami penurunan. Suku bunga perbankan, baik simpanan maupun kredit masih terus turun, meski melambat dan dengan spread yang semakin kecil. Dari jalur kredit, pertumbuhan kredit menunjukkan tren yang meningkat, terutama didorong oleh kredit konsumsi meskipun kontribusi kredit investasi dan KMK juga menunjukkan peningkatan. Dari sisi likuiditas, kondisi likuiditas perekonomian cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas perekonomian. Likuiditas perbankan masih cukup tinggi sehingga tidak ada kendala dalam pemenuhan GWM 8%.

Stabilitas sistem keuangan masih terjaga dan didukung oleh kondisi sektor perbankan yang tetap kuat dalam menghadapi berbagai risiko, serta membaiknya fungsi intermediasi perbankan. Hal itu antara lain ditunjukkan oleh tingginya rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) perbankan yang saat ini mencapai 16,4% dan terjaganya rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah 5,0%. Peningkatan fungsi intermediasi perbankan tercermin pada angka pertumbuhan kredit yang meningkat mencapai 21,9% (yoy) pada akhir Oktober 2010. Perkembangan pertumbuhan kredit perbankan tersebut masih sesuai dengan Rencana Bisnis Bank (RBB) dimana pertumbuhan kredit diperkirakan dapat mencapai kisaran 22%-24%. Sementara itu pertumbuhan kredit (ytd) untuk seluruh sektor sudah positif.

Bank Indonesia meyakini prospek perekonomian ke depan semakin membaik yang ditandai oleh laju pertumbuhan PDB yang meningkat, prospek inflasi yang terjaga pada kisaran sasaran yang ditetapkan, dan stabilitas sistem keuangan yang tetap terkendali.

Berdasarkan evaluasi terhadap kinerja dan prospek perekonomian yang secara umum menunjukkan perbaikan tersebut, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 4 November 2010 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada tingkat 6,50%. Namun demikian, Bank Indonesia tetap mencermati potensi meningkatnya tekanan inflasi ke depan. Dewan Gubernur memandang level BI Rate saat ini masih konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi dan tetap kondusif untuk menjaga stabilitas keuangan serta mendorong intermediasi perbankan yang diperlukan bagi sisi suplai untuk dapat merespons akselerasi di sisi permintaan secara memadai. Di tengah masih derasnya arus modal asing yang masuk dan kondisi ekses likuiditas yang masih cukup besar. Dewan Gubernur menegaskan bahwa pengelolaan likuiditas perekonomian merupakan hal yang lebih penting. Implementasi kebijakan menaikkan rasio giro wajib minimum (GWM) Primer per 1 November 2010 telah berjalan dengan baik tanpa menimbulkan gejolak pada likuiditas perbankan. Ke depan, Bank Indonesia akan memperkuat manajemen likuiditas dan efektifitas kebijakan moneter melalui penerapan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial dalam ranga pengelolaan aliran masuk modal asing, stabiliasi nilai tukar Rupiah, dan memastikan pengendalian inflasi sesuai sasaran yang ditetapkan yaitu 5% ± 1% pada tahun 2010 dan 2011 serta 4,5% +1% di 2012.

or. China yang sebelumnya tumbuh cepat kini harus mengerem pertumbuhan ekonominya untuk menghindari overheating. Di sisi lain, negara-negara Eropa khususnya Jerman dan Perancis tumbuh lebih baik dari perkiraan. Peningkatan tersebut antara lain didorong oleh ekspor yang meningkat serta hasil stress test perbankan Eropa yang lebih baik dari perkiraan sehingga memicu optimisme pelaku ekonomi. Selain itu, perekonomian negara-negara emerging market juga tetap tumbuh dengan solid. Industri global yang terus berekspansi dan volume perdagangan dunia yang terus meningkat membuat perekonomian dunia pada triwulan III-2010 tetap tumbuh meski lebih moderat dibandingkan dari triwulan II 2010.

Pertumbuhan ekonomi domestik pada triwulan III 2010 diperkirakan lebih baik dari triwulan sebelumnya. Pada triwulan III 2010, ekonomi domestik diperkirakan tumbuh 6,3%(yoy). Pertumbuhan tersebut didorong oleh konsumsi rumah tangga yang diperkirakan tetap tumbuh di atas 5%(yoy). Pertumbuhan konsumsi ini dipacu oleh optimisme konsumen dan meningkatnya pendapatan yang antara lain berasal dari hasil ekspor. Pertumbuhan ekspor pada triwulan III 2010 diperkirakan mencapai 11,4%. Pertumbuhan ekspor ini dipicu oleh pertumbuhan ekonomi global yang terus membaik terutama China dan India seiring dengan semakin tersebarnya negara tujuan ekspor. Investasi diperkirakan tumbuh sebesar 9,9% (yoy) pada triwulan III 2010 sebagai respons atas meningkatnya permintaan serta membaiknya iklim investasi. Kondisi ini berimplikasi pada impor yang juga meningkat. Secara sektoral, sektor nontradable tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan sektor tradable.

Perkembangan ekonomi yang membaik tersebut juga tercermin pada perkembangan ekonomi di daerah yang terus meningkat. Pertumbuhan ekonomi daerah terutama didorong oleh kinerja ekonomi di wilayah Sumatera dan Indonesia bagian Timur (Sulawesi, Maluku, Papua – Sulampua) pada subsektor perkebunan dan sektor pertambangan. Selain itu, kinerja industri pengolahan dan sektor bangunan di wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara (Jabalnustra), dan Kalimantan memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi pertumbuhan ekonomi. Di sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi daerah ditopang oleh konsumsi dan investasi sejalan dengan masih tingginya optimisme konsumen, peningkatan kredit konsumsi, serta stabilnya nilai tukar petani. Dari sisi investasi, peningkatan terjadi pada investasi bangunan maupun nonbangunan. Kegiatan investasi bangunan yang tumbuh cukup tinggi terjadi di Jakarta dan Jabalnustra. Kegiatan investasi bangunan di Jakarta terutama pada sektor properti untuk retail dan perkantoran. Dari sisi ekspor, peningkatan ekspor komoditas manufaktur terutama berasal dari Jabalnustra dan DKI Jakarta. Sementara peningkatan ekspor komoditas sumber daya alam (SDA) berasal dari wilayah Kalimantan, Sulampua dan Sumatra, meskipun terdapat gangguan produksi yang disebabkan anomali cuaca.

Dari sisi harga, inflasi sepanjang triwulan III 2010 menunjukkan peningkatan yang terutama bersumber dari kelompok volatile foods. Masih tingginya tekanan inflasi dari kelompok bahan makanan (volatile food) akibat gangguan distribusi dan produksi yang disebabkan anomali cuaca serta kenaikan tarif dasar listrik untuk rumah tangga. Sementara itu, tekanan inflasi juga bersumber dari penyesuaian biaya pendidikan sehubungan dengan datangnya tahun ajaran baru dan adanya peningkatan permintaan terkait hari raya keagamaan. Namun demikian, tekanan inflasi pada bulan September 2010 mengalami penurunan yaitu tercatat sebesar 0,44% (mtm), lebih rendah dari bulan sebelumnya yaitu 0,76% (mtm). Dengan perkembangan tersebut, selama triwulan III 2010 inflasi IHK tercatat sebesar 2,79 (qtq) atau mencapai 5,80% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 1,41% (qtq) atau 5,05% (yoy). Sementara itu, dampak kelompok administered prices terhadap inflasi IHK masih relatif kecil karena tidak adanya kebijakan strategis pemerintah di bidang harga pada September 2010.

Neraca pembayaran Indonesia (NPI) triwulan III 2010 diperkirakan akan mencatat surplus yang lebih tinggi dari yang diperkirakan semula. Hal itu disebabkan oleh surplus neraca transaksi modal dan finansial (TMF) yang mengalami perbaikan cukup signifikan. Peningkatan surplus TMF yang cukup signifikan didorong oleh membaiknya persepsi internasional terhadap perekonomian Indonesia, yaitu perbaikan outlook credit rating Indonesia, imbal hasil investasi rupiah yang cenderung meningkat, serta kondisi ekses likuiditas global. Di sisi lain, surplus neraca transaksi berjalan (current account/CA) diperkirakan akan menurun akibat petumbuhan impor yang tinggi, seiring dengan kegiatan ekonomi domestik yang terakselerasi. Namun demikian, impor yang terakselerasi tersebut masih mendukung kegiatan ekonomi domestik, tercermin dari dominannya impor bahan baku dan barang modal. Dengan perkembangan tersebut cadangan devisa pada akhir September 2010 mencapai 86,55 miliar dolar AS, atau setara dengan 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.

Nilai tukar rupiah terus menguat seiring dengan kinerja transaksi berjalan yang masih mencatat surplus cukup besar dan derasnya arus modal asing yang masuk serta faktor risiko yang masih terjaga. Penguatan rupiah ini didukung oleh sentimen global yang positif serta faktor fundamental domestik yang semakin kokoh. Jika dibandingkan dengan triwulan II 2010, secara rata-rata rupiah menguat sebesar 1,2% (qtq), mencapai Rp9.001 per dolar AS. Penguatan rupiah pada triwulan III tersebut diikuti oleh volatilitas yang turun dari 0,5% pada triwulan II 2010 menjadi 0,2% pada triwulan III 2010. Pada akhir triwulan III 2010 rupiah ditutup pada level Rp8.924 per dolar AS, atau menguat 1,2% (ptp) dibandingkan dengan triwulan II 2010. Nilai tukar rupiah yang cenderung stabil dapat mendukung kebutuhan impor bahan baku yang diperlukan untuk kegiatan produksi domestik, dan di sisi lain penguatan rupiah belum memberikan tekanan yang signifikan bagi eksportir karena masih kuatnya permintaan internasional.

Pasar keuangan secara keseluruhan pada triwulan III 2010 berada dalam kondisi yang semakin stabil. Kondisi pasar SUN dan pasar modal terus membaik sebagaimana tercermin dari IHSG yang meningkat dan yield SUN yang menurun. Membaiknya pasar modal dan SUN pada triwulan III 2010 ini ditopang oleh prospek perekonomian yang terus membaik. Di pasar uang antarbank, kondisi likuiditas selama triwulan III 2010 cenderung meningkat. Transmisi kebijakan moneter sepanjang triwulan III-2010 juga berlangsung dengan baik sebagaimana tercermin dari suku bunga PUAB O/N yang bergerak di sekitar BI Rate, pertumbuhan kredit yang meningkat terutama untuk jenis kredit modal kerja dan IHSG yang mencapai level tertinggi sepanjang sejarah.

Di sisi mikro perbankan, kondisi perbankan nasional semakin kuat. Hal itu tercermin dari masih tingginya rasio kecukupan modal (CAR) dan terjaganya rasio gross non-performing loan (NPL) dibawah 5% Selain itu likuiditas perbankan, termasuk likuiditas di pasar uang antar bank kian membaik dan dana pihak ketiga (DPK) yang terus meningkat. Intermediasi perbankan juga semakin baik tercermin dari pertumbuhan kredit yang hingga akhir September 2010 mencapai 21,2% (yoy). Pertumbuhan modal kerja selama tahun 2010 telah tumbuh melampaui jenis kredit konsumsi dan ke depan pertumbuhan kredit tetap diarahkan ke sektor yang produktif. Dengan perkembangan tersebut dan sesuai dengan rencana bisnis bank, untuk keseluruhan tahun 2010 pertumbuhan kredit diperkirakan mencapai 22%-24%. Peningkatan kredit terutama didorong oleh membaiknya keyakinan pelaku ekonomi terhadap prospek perekonomian.

Berdasarkan asesmen dan prospek ekonomi tersebut, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 5 Oktober 2010 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 6,5% dengan koridor suku bunga sebesar ±100 bps. Keputusan tersebut juga mempertimbangkan bahwa tingkat BI Rate 6,5% masih konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi jangka menengah dan dipandang masih kondusif untuk menjaga stabilitas keuangan dan mendorong intermediasi perbankan, sehingga sisi supply dapat merespon akselerasi sisi permintaan secara memadai.


A. Definisi dan Pengertian
Yang dimaksud kebijakan moneter adalah upaya mengendalikan / mengarahkan perekonomian makro ke kondisi yang diinginkan (yang lebih baik) dengan mengatur jumlah uang yang beredar. Yang dimaksud kondisi yang lebih baik adalah meningkatnya output keseimbangan / terpeliharanya stabilitas harga (inflasi terkontrol). Melalui kebijakan moneter pemerintah dapat mempertahankan, menambah / mengurangi jumlah uang yang beredar dalam upaya mempertahankan kemampuan ekonomi bertumbuh, sekaligus mengendalikan inflasi.

Jika yang dilakukan adalah menambah jumlah uang yang beredar, maka pemerintah dikatakan menempuh kebijakan moneter ekspansif (monetary expansive). Sebaliknya, jika jumlah uang beredar dikurangi, pemerintah menempuh kebijakan moneter kontraktif (monetary contractive). Istilah lain dari kebijakan moneter kontraktif adalah kebijakan uang ketat (tight money policy).

B. Instrument Kebijakan Moneter

Ada 3 instrument utama yang digunakan untuk mengatur jumlah uang yang beredar : Operasi pasar terbuka (open market operation), Fasilitas diskonto (discount rate), dan Rasio cadangan wajib (reserve requirment ratio). Di luar tiga instrument tersebut (yang merupakan kebijakan moneter bersifat kuantitatif), pemerintah dapat melakukan imbauan moral (moral persuation).

1. Operasi pasar terbuka (open market operation)
Adalah pemerintah mengendalikan jumlah uang yang beredar dengan cara menjual / membeli surat-surat berharga milik pemerintah (government securities). Jika mengurangi jumlah uang yang beredar, maka pemerintah menjual surat-surat berharga (open market selling). Dengan demikian uang yang ada dalam masyarakat mengalir ke otoritas moneter, sehingga jumlah uang yang beredar berkurang. Jika ingin menambah jumlah uang yang beredar, maka pemerintah membeli kembali surat-surat berharga tersebut (open market buying). Guna lebih mengefektifkan operasi pasar terbuka ini, Bank Indonesia telah mengembangkan kedua instrument tersebut dengan menambah fasilitas repurchase agreement (repo) kemasing-masing instrument, sehingga saat ini dikenal SBI repo / SBPU repo.
Di Indonesia, operasi pasar terbuka dilakukan dengan menjual / membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Jika ingin mengurangi jumlah uang yang beredar, pemerintah menjual SBI atau SBPU. Melalui penjualan SBI atau SBPU uang yang ada dalam masyarakat ditarik, sehingga jumlah uang yang beredar berkurang. Biasanya penjualan SBI/SBPU dilakukan bila jumlah uang yang beredar dianggap sudah mengganggu stabilitas perekonomian.
Bila pemerintah melihat jumlah uang yang beredar perlu ditambah, agar perbankan lebih mampu memberikan kredit yang akan memacu pertumbuhan ekonomi, maka SBI dan SBPU yang telah dijual dibeli kembali. Melalui pembelian itu pemerintah mengeluarkan uang sehingga menambah jumlah uang yang beredar.

2. Fasilitas Diskonto (discount rate)
Yang dimaksud tingkat bunga diskonto adalah tingkat bunga yang ditetapkan pemerintah atas bank-bank umum yang meminjam ke Bank Sentral. Dalam kondisi tertentu, bank-bank mengalami kekurangan uang sehingga mereka harus meminjam kepada Bank Sentral. Kebutuhan ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah, untuk mengurangi / menambah jumlah uang yang beredar.
Bila pemerintah ingin menambah jumlah uang yang beredar, maka pemerintah menurunkan tingkat bunga pinjaman (tingkat diskonto). Dengan tingkat bunga pinajaman yang lebih murah, maka keinginan bank-bank untuk meminjam uang dari Bank Sental menjadi lebih besar. Maka jumlah uang yang beredar menjadi lebih banyak. Sebaliknya jika ingin menahan laju pertambahan jumlah uang yang beredar, pemerintah menaikkan bunga pinjaman. Hal ini akan mengurangi keinginan bank-bank meminjam uang dari Bank Sentral, sehingga pertambahan jumlah uang yang beredar dapat ditekan.

3. Rasio Cadangan Wajib (reserve requirment ratio)
Penetapan rasio cadangan wajib juaga dapat mengubah jumlah uang yang beredar. Jika rasio cadangan wajib diperbesar, maka kemampuan bank memberikan kredit akan lebih kecil dibanding sebelumnya. Misalnya, jika rasio cadangan wajib mulanya hanya 10%, maka untuk setiap unit deposito yang diterima, perbankan dapat mengalirkan pinjaman sebesar 90% dari deposito yang diterima perbankan. Dengan demikian angka multiplier uang dari sistem perbankan adalah 10.
Untuk pertama kalinya sejak Pakto 1988, Bank Indonesia menggunkan rasio cadangan wajib guna mengerem pertumbuhan besar-besaran moneter yang masih tinggi yaitu dengan menetapkan rasio menjadi 3% pada Februari 1996. Sejak April 1997 besarnya rasio cadangan wajib adalah 5%.

4. Imbauan Moral (moral persuation)
Dengan imbauan moral, otoritas moneter mencoba mengarahkan / mengendalikan jumlah uang yang beredar. Misalnya, Gubernur Bank Indonesia dapat memberi saran agar perbankan berhati-hati dengan kreditnya atau membatasi keinginannya meminjam uang dari bank sental (berhati-hati menggunakan fasilitas diskonto).

C. Kebijakan Moneter dan Keseimbangan Ekonomi : Analisis IS – LM

Kebijakan moneter dikatakan efektif bila mampu mengendalikan tingkat output dan harga. Untuk mengevaluasi efektifitas kebijakan moneter, peralatan analisis yang paling sederhana namun komprehensif adalah kurva IS – LM.

1. Pengaruh Kebijakan Moneter Terhadap Keseimbangan Pasar Uang – Modal
Pengaturan jumlah uang beredar dapat mempengaruhi kondisi keseimbangan pasar uang – modal. Diagram 13.1 memberikan gambaran apa yang terjadi terhadap keseimbangan pasar uang – modal bila jumlah uang beredar ditambah.
Diagram 13.1 menunjukan kurva LM0 yang diturunkan adalah M0S. Seandainya pemerintah menambah jumlah uang yang beredar menjadi setingkat M1S pada diagram 13.1.a, maka untuk membuat pasar uang – modal berada dalam keseimbangan pada tingkat Y0, tingkat bunga harus diturunkan dari r1 ke r3. Demikian juga bila ingin membuat pasar uang – modal berada dalam kondisi keseimbangan pada tingkat Y1, tingkat bunga juga harus diturunkan dari r2 ke r4. Dalam Diagram 13.1.b hal itu terlihat lari pergeseran titik keseimbangan (dari F1 ke F3 dan dari F2 ke F4), sehingga kurva LM bergeser ke kanan (dari LM0 ke LM1).
Seandainya pemerintah mengurangi jumlah uang yang beredar dari M0s ke M2s, maka untuk membuat pasar uang modal berada dalam keseimbangan pada tingkat Y0 tingkat bunga harus dinaikkan dari r1 ke r5. Sedangkan untuk mencapai keseimbangan pada tingkat Y1, tingkat bunga harus dinaikkan dari r2 ke r6. Kurva LM bergeser ke kiri dari LM0 ke LM2)

2. Pengaruh Kebijakan Moneter Terhadap Keseimbangan Ekonomi
Pergeseran kurva LM karena pengaruh perubahan jumlah uang yang beredar yang dilakukan pemerintah akan mempengaruhi keseimbangan ekonomi, karena mengubah titik potong kurva IS – LM, yang berarti mengubah titik keseimbangan ekonomi. Diagram 13.2 menunjukan kondisi keseimbangan awal terjadi pada tingkat pendapatan Y0 dan tingkat bunga r0. Jika pemerintah menambah jumlah uang beredar, kurva LM bergeser ke kanan (dari LM0 ke LM1), sehingga titik keseimbangan juga bergeser dari E0 ke E1. Pada titik keseimbangan yang baru (E1), output keseimbangan adalah Y1 yang lebih besar daripada Y0, sedangkan tingkat bunga adalah r1 yang lebih rendah daripada r0. Dengan kata lain, kebijakan moneter ekspansif dalam diagram 13.2 telah berhasil mamacu pertumbuhan ekonomi dan menurunkan tingkat bunga. Dalam perekonomian pasar, kenaikan tingkat bunga mengindikasikan telah terjadinya kelebihan permintaan investasi.

Akibatnya dapat dilihat dari 2 sisi, yaitu :
- Sisi output
Kenaikan tingkat bunga akan menyebabkan ada beberapa rencana investasi yang dibatalkan, sebagai akibatnya pertambahan kapasitas produksi menjadi lebih kecil.
- Sisi biaya
Kenaikan tingkat bunga akan menaikkan biaya produksi dikarenakan naikknya biaya modal.
Dari kedua hal di atas, akibatnya kenaikan tingkat bunga akan memicu terjadinya inflasi.
Bila pemerintah mengurangi jumlah uang yang beredar, yang terjadi adalah sebaliknya bergesernya kurva LM ke kiri (dari LM0 ke LM2) menyebabkan titk keseimbangan bergeser ke E2. Pada saat itu output keseimbangan adalah Y2 yang lebih kecil, sedangkan tingkat bunga naik (dari r0 ke r2) yang berarti telah terjadi inflasi.

D. Efektifitas Kebijakan Moneter

Secara grafis hasil kebijakan moneter pemerintah sangat ditentukan oleh kondisi pasar barang jasa dan pasar uang modal, yang digambarkan oleh sudut kemiringan kurva IS dan kurva LM.
1. Sudut kemiringan kurva IS
Diagram 13.3 merupakan himpunan kurva IS yang menggambarkan beberapa kondisi pasar barang dan jasa.
Kurva IS1 lurus sejajar dengan sumbu vertikal. Kurva IS yang seperti ini terjadi karena permintaan investasi tidak sensitif terhadap perubahan tingkat bunga (kurva I tegak lurus). Sebaliknya kurva IS2 terbentuk dari kurva I yang mendatar sejajar dengan sumbu horizontal. Artinya kurva investasi elastis sempurna. Sedangkan kurva IS3 terbentuk dari kurva investasi yang bersudut negatif.

2. Sudut kemiringan kurva LM
Diagram 13.4.a menunjukan beberapa kurva LM yang menggambarkan beberapa kondisi pasar uang – modal.
Kurva LM1 berbentuk tegak lurus sejajar sumbu vertikal. Kurva ini diturunkan dari kurva permintaan uang untuk spekulasi (Msp) yang tegak lurus. Oleh karena kurva LM1 sesuai dengan hipotesis Klasik, maka kurva ini disebut kurva LM versi Klasik.
Kurva LM3 datar dan sejajar dengan sumbu horizontal. Menurut Keynes, kondisi ini disebut sebagai perangkap likuiditas dan biasanya terjadi pada tingkat bunga yang sangat rendah. Kurva ini disebut kurva LM versi Keynesian.

3. Berbagai Kemungkinan Hasil Kebijakan Moneter
Evaluasi terhadap efektifitas kebijakan moneter dapat dilakukan dengan melihat titik potong kurva IS dan Lm. Karena kurva IS dan LM masing-masing memiliki minimal 3 kondisi, maka minimal ada 9 kombinasi titik potong kurva IS – LM. Dari 9 kombinasi tersebut, 2 diantaranya tidak terdefinisikan. Yang pertama adalah titik potong antara kurva IS mendatar (IS2) dengan kurva LM mendatar (LM3). Yang kedua adalah titik potong antara kurva IS tegak lurus (IS1) dengan kurva LM tegak lurus (LM1).
Diagram 13.5.a dan 13.5.b kondisinya adalah kurva Lm vertikal. Kurva 13.5.a menunjukan jika kurva IS datar, kebijakan moneter sangat efektif sebab dapat menambah / mengurangi output keseimbangan tanpa mengganggu tingkat harga. Diagram 13.5.b menunjukan jika kurva IS memiliki slope negatif. Kebijakan moneter ekspansif akan menaikan output keseimbangan dan tingkat harga turun. Kebijakan moneter kontraktif akan menurunkan output keseimbangan dan tingkat harga akan naik.







Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_moneter
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/06/kebijakan-moneter-derfinisi-dan.html
http://www.bi.go.id
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/03/kebijakan-moneter/


Menurut Saya Kebijakan Moneter
pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil.